Sabtu, 03 September 2016

Teks Diskusi yg baru

Perlukah Pengurangan Subsidi BBM?

Besaran subsidi energi pada tahun anggaran 2014 mencapai
297,4 triliun. Angka tersebut didasarkan pada realisasi tahun 2013
sebesar 299,59 triliun dari yang ditetapkan APBN-P 2013 sejumlah287,14 triliun. Subsidi energi tahun ini mencakup BBM/LPG
dengan pengajuan 210,73 triliun.
Sementara itu, realisasi tahun lalu mencapai 210 triliun dari
APBN-P 2013 sebesar 199,9 triliun. Peningkatan subsidi BBM
tersebut karena lonjakan konsumsi minyak Indonesia. Di sisi lain,
produksi (lifting) minyak tidak mencapai target. Contoh, sejak
tahun 2009, realisasi produksi minyak selalu di bawah target. Pada
tahun 2013, targetnya 840 ribu barel per hari, realisasinya 825 ribu
barel per hari.
Bagaimana dengan konsumsi minyak? Pada tahun 2009,
konsumsinya sebesar 1,02 juta barel per hari. Kemudian, pada tahun
2013 melonjak menjadi 1,50 juta barel per hari. Dengan demikian,
pada tahun lalu Indonesia harus mengimpor minyak sebesar 725
ribu barel per hari. Indonesia adalah negara pengekspor sekaligus
pengimpor minyak.
Sejak 2004, Indonesia sudah menjadi importir minyak (net
importer oil). Dengan kata lain, jumlah impor untuk memenuhi
konsumsi domestik melebihi jumlah ekspor minyak. Sebelum
tahun 2004, Indonesia masih dikenal sebagai eksportir minyak (net
exporter oil) karena ekspor lebih tinggi dari impor.
Subsidi BBM harus diakui cenderung meningkat. Kondisi ini
tentu membebani APBN. Untuk itu, diperlukan upaya menurunkan
atau bahkan menghapus subsidi BBM secara bertahap. Mengenai
kebijakan penurunan subsidi BBM yang berdampak pada kenaikan
harga BBM, tentu menimbulkan pro dan kontra di berbagai
kalangan.
Kelompok yang setuju penurunan subsidi BBM mempunyai
argumentasi subsidi akan menimbulkan inefisiensi dalam
perekonomian. Besaran subsidi tersebut sebagian dinikmati
produsen dan konsumen, namun ada yang hilang dan tak dinikmati
keduanya (dead-weight welfare loss). Subsidi BBM tidak tepat
sasaran. Masyarakat yang berpenghasilan lebih tinggi menikmati
subsidi BBM lebih besar daripada rakyat berpendapatan rendah.
Dengan subsidi, harga di pasar domestik menjadi lebih
murah. Akibatnya, cenderung terjadi konsumsi berlebihan (over
consumption) atau pemborosan energi. Kondisi tersebut juga
akan mendorong penyelundupan ke pasar internasional. Hasil
pengurangan anggaran subsidi BBM dapat dialokasikan untuk
pembangunan infrastruktur, asuransi, jaminan kesehatan, beasiswapendidikan, program padat karya dan kegiatan lainnya untuk
masyarakat miskin. Jika harga naik, konsumsi menjadi semakin
rasional (tidak berlebihan). Selanjutnya, kondisi kualitas lingkungan
menjadi semakin baik karena polusi berkurang.
Kelompok yang kontra penurunan subsidi BBM mempunyai
argumentasi lain. Penurunan subsidi yang diikuti kenaikan
harga BBM memicu inflasi (barang dan jasa mahal). Kondisi ini
menjadikan daya beli masyarakat turun, khususnya masyarakat
masyarakat miskin. Akhirnya, jumlah penduduk kategori miskin
akan bertambah.
Kenaikan harga BBM dan inflasi akan menyebabkan
permintaan domestik menurun sehingga melemahkan produksi.
Penurunan produksi di berbagai sektor ekonomi akan meningkatkan
pemutusan hubungan kerja (PHK) dan meningkatkan pengangguran.
Ringkasnya, kelompok kontra berpendapat kenaikan harga BBM
menyebabkan inflasi, kemiskinan, serta pengangguran lebih tinggi.
Penurunan dan/atau penghapusan subsidi BBM tentu
berdampak negatif terhadap perekonomian dalam jangka pendek,
terutama inflasi, sektoral, ekonomi makro, kemiskinan, dan
pengangguran, tetapi kecil. Yang perlu dicermati adalah dampak
terhadap kemiskinan dan pengangguran. Pemerintah baru harus
sudah mempunyai solusi terhadap subsidi BBM, seperti keberanian
menurunkan subsidi BBM secara bertahap sampai akhirnya
menghapus.
Dampak negatif penurunan subsidi BBM dalam jangka pendek
dapat dikurangi dengan menerapkan kebijakan fiskal lewat jaring
pengaman sosial dan kebijakan moneter dan Bank Indonesia dapat
menurunkan jumlah uang beredar melalui instrumen menaikkan
suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Pengurangan subsidi
BBM juga harus disertai program kompensasi. Meskipun demikian,
program kompensasi yang tidak efektif justru akan meningkatkan
kemiskinan.
Sebaliknya, jika program kompensasi dapat dilaksanakan
dengan efektif, dapat menekan kemiskinan. Kompensasi sebaiknya
bukan dalam bentuk tunai, tetapi dapat berupa asuransi kesehatan,
beasiswa pendidikan, modal kerja UMKM, padat karya, serta beras
untuk masyarakat miskin.
Subsidi tidak dapat diberlakukan terus-menerus. Andai subsidi
terpaksa diberikan, harus diberlakukan secara adil, selektif,
dan tepat sasaran dengan jangka waktu terbatas. Subsidi harus
dikurangi secara bertahap, sampai akhirnya dihapus. Pemerintah
baru didorong berani mengurangi subsidi BBM disertai penjelasan
kepada masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar